Senin, 03 Oktober 2016

Sulit Mengalirkan yang Padat

Hari ini menyenangkan sekali. Aku mendapat kejutan dari beberapa teman di kampusku. Ulang tahunku memang sudah lewat, namun cara mereka menghargainya seakan memberiku kesempatan untuk mengulangnya kembali. Hari ini 3 oktober, yang nuansanya seperti 30 september.

Aku senang ketika mereka memberi ucapan selamat kepadaku. Aku senang ketika tangan-tangan kami saling berjabatan. Ketika gelak tawa meledak, seluruh kegaduhan di sekitar kami tampak seolah sunyi. Keriuhan yang tercipta karena keakraban adalah kebisingan yang justru menenangkan.

Aku meniup lilin dengan tubuh berkeringat. Sumbu-sumbunya padam dan mengepulkan asap yang melayang entah ke mana. Tepuk tangan bersautan. Ucapan selamat kembali diperdengarkan.

Hari ini lengkap sudah aku; bertambah usiaku.

Kehidupan yang cair terus mengalir ke segala arah, menandakan bahwa segalanya akan segera berubah. Hingga akhirnya ada satu yang tetap dan tak berpindah.
Yaitu sepi.

Bekasi, 3 Oktober 2016

Senin, 29 Agustus 2016

Seorang Gadis dan Ayahnya

Kemandirian,
Bukan tentang keheningan yang dipaksakan.
Atau kemurungan yang
Ditekan sendiran.
Kemandirian, katamu, adalah tentang
Menyesuaikan keadaan.
Tanpa perlu tolak genggaman;
Juga peluk-dekapan.

Dunia sedang ditaburi ancaman;
Kekalutan tak menentu.
Tempat berlindung paling aman
Adalah punggung ayahmu.

Gadis manis, dengarkan aku:
Kesediaanmu melangkah bersama ayah
Tidak pernah terlihat payah.
Teruslah berjelajah membelah lelah;
Genggam tangannya tanpa perlu
Memancing tanya.

Sebab ayahmu menantikan kemandirian,
Bukan kesendirian.

Farhane.
Bekasi, 29 Agustus 2016.

Selasa, 09 Agustus 2016

Aku-kamu Menuju Debu

Tanah-tanah tergesek langkah menolak kalah
Berjelajah membelah lelah.
Kau resah,
Resahmu menjelma pasrah, sebab kata
Yang kau ucap teramat susah

Istirahatlah, manisku,
Aku bukan apa selain saling menyelamatkan.
Di usia tujuh puluhan,
Hanya genggam tangan yang mampu
Selamatkan kita dari penuaan.

Pandanglah aku, kasih,
Pandang dengan kesungguhanmu.

Bahu rapuhku tertumpu
helaian putih berkelabu,
menyeruak, menyapu seluruh aku.

Waktu hanya akan jadikan kita debu,
Tak sampai membelah aku-kamu.

F, Bekasi 9 Agustus 2016.

Sabtu, 25 Juni 2016

Pernikahan: Ketika Hidup yang Cair Dialirkan ke Muara Baru

Minggu lalu aku dan teman sekolah mengadakan pertemuan untuk sekedar merayakan bulan Ramadhan. Seperti masyarakat umumnya, kami gemar mengadakan reuni dengan alasan berbuka puasa bersama.

Awalnya, aku ingin langsung menulis kegusaran ini ketika tiba di rumah. Namun jemariku seperti kehilangan selera bertemu papan ketik. Sekrup-sekrup di kepalaku juga seperti berterbangan entah ke mana. Sudah aku paksakan untuk menulis, namun hasilnya tetap buruk. Kalimat yang aku rangkai seperti kumpulan kata yang mendorong pembacanya untuk muntah.

Aku teringat ucapan Hemmingway tentang teknik menulis. Kalimat “You shouldn’t write if you can’t write” seakan menjadi pembela serta pembenaran bagiku untuk tetap tidak menulis. Bayangkan, bagaimana jadinya jika perasaan mengendap lama di dada namun tidak dituangkan kepada siapa-siapa. Mungkin jika ditahan satu sampai dua hari lagi, organ tubuh di area dadaku akan mengalami disfungsi dan berakhir pada kematian. Benar-benar konyol.

Jadi hari ini aku ingin menulis tentang pertemuanku bersama  teman-teman lama.

Sekitar tiga atau empat jam kami berkumpul di satu meja panjang. Membicarakan hal-hal lucu sampai kepada kegiatan serta kesibukan kita masing-masing. Banyak di antara kami yang masih bergelut dengan kuliahnya. Namun tidak sedikit pula yang sudah sibuk dengan pekerjaan dan segala hal yang menyita seluruh waktu hidupnya. Tentu dengan tiket ijazah SMA (biasanya) mereka ditempatkan sebagai operator produksi pada sebuah pabrik, yang mau tidak mau harus menukar waktu istirahatnya dengan jam kerja tambahan. Salah satu teman saya bercerita, bahwa dalam sehari dia bisa berada 15 jam di dalam pabrik. Benar-benar 15 jam. Dia harus menahan kebisingan suara mesin dan segala kebosanan yang diam-diam mengikis waktu hidupnya.

Dari satu cerita yang terbentur cerita lain. Tiba-tiba ada satu berita menarik yang dituturkan oleh teman bernama Ulfi. “Temen-temen,” kata dia, sambil menggigit bibir bawahnya. “Akhir tahun ini, gue rencananya mau nikah. Kira-kira kalian bisa dateng nggak?”

Tentu saja bukan pertanyaan Ulfi tentang kehadiran yang menjadi permasalahan. Melainkan keputusannya untuk menikah itu sendiri. Jika dilihat dari usia, Ulfi memang sudah matang. Umurnya 20 tahun, sama seperti usiaku. Hanya saja dia perempuan, yang dalam budaya kita sudah menjadi kodrat umum menikah di usia muda. Atau paling tidak, tidak terlalu tua.

Aku merasa kehilangan mendengar kabar itu. Bukan karena aku menyukai Ulfi dalam konotasi intim. Tapi karena dia salah satu bagian dari teman sekolahku, dan dia pula orang pertama yang memutuskan untuk menikah. Jadi, kemungkinannya untuk terus bertemu dan berbincang dengan kami akan berkurang. Menyedihkan, namun itu bagian dari kedewasaan. Tidak ada satu pun dari kita yang mampu menolak proses. Karena sekalipun kita menghindari kedewasaan, usia akan terus berjalan. Energi menjadi satu-satunya bukti perubahan. Dan yang paling mengerikan adalah: kesepian.

Entah setiap kali mendengar kabar pernikahan—khususnya dari teman dekat—aku selalu terbayang-bayang puisi Chaeril Anwar yang berjudul Tak Sepadan. Puisi ini selalu mewakili perasaanku tentang kehilangan. Bukan kehilangan dalam makna sederhana. tapi kehilangan dalam makna buruk yang luar biasa. Karena pernikahan adalah perpisahan abadi antara kita dan orang tercinta. Pernikahan merombak seluruh alur kehidupan kita. Yang lebih kontras lagi, pernikahan sanggup mengubah perilaku dan kebiasaan setiap individu. Maka dari itu pernikahan adalah perpisahan terbesar nomor dua dalam hidup, setelah kematian. Apalagi jika objek yang menikah itu adalah orang terkasih, bisa-bisa kamu berkeyakinan bahwa kematian masih lebih baik dari pernikahan.

TAK SEPADAN
Oleh: Chaeril Anwar

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk sumpahi Eros.
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga dinding terbuka.

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
(Februari, 1943)

Pertama kali aku membaca puisi tersebut kurang lebih dua tahun lalu, ketika usiaku 18 tahun. Saat itu aku membayangkan orang terdekatku (dalam arti benar-benar dekat) dinikahi oleh pria lain. Dia bersenang-senang membangun keluarga, mendidik anak, serta mewarnai malam dengan canda dan tawa, sementara aku? Terpanggang tinggal rangka.

Tapi kemudian aku teringat bahwa hidup ini cair. Segalanya dapat berubah kapan saja. Tak ada yang bisa dipaksakan tetap. Yang sendiri, kelak akan memiliki pendamping. Yang hidup, kelak juga akan mati. Konsep hidup selalu seperti itu, tak pernah berubah.

Bayanganku tentang kehidupan dewasa semakin kalut ketika grup-chat yang berisi teman sekolah itu beramai-ramai membicarakan tentang pernikahan dan hal-hal lain yang merujuk ke arah asmara. Aku yang paling disudutkan di sana. Karena perempuan terdekatku dulu tidak hadir dalam acara buka bersama tersebut. Kikuk rangkaian kataku ketika salah seorang teman mengirim foto yang berisi wajahnya sedang tersenyum bersama lelaki lain. Bukan karena cemburu atau merasa kalah, tapi aku merasa…. Entahlah, seperti ada sesuatu yang ganjil. Jika diibaratkan, keganjilan itu tampak seperti benda yang tidak ditempatkan pada posisi aslinya. Rasanya ingin membenarkan, tapi benda itu sudah merasa tepat di sana. Jadi tak perlu ada pergeseran.

Ketakutanku di usia 18 terbukti sekarang. Meski belum pasti, namun sepertinya dia benar-benar akan menikah dengan pria dekatnya itu. Aku ulangi sekali lagi, tidak ada kecemburuan apalagi kegusaran karena kalah. Tidak. Aku hanya merasa ganjil, itu saja.

Belakangan aku sudah melupakannya, dan mencoba berbaur dengan hidup. Usiaku sekarang 20. Masih banyak laut yang harus aku selami, ombak yang harus diterbos, serta batuan es yang harus dibelah. Jika hanya memikirkan perihal asmara, kapan aku bisa membekukan hidup? Kapan aku mendapat perlakuan baik dari semesta?

Tentu saja aku tahu pernikahan dapat mengubah seluruh tatanan hidup yang ada. Tapi bukan berarti kita terpatri dengan keyakinan bahwa dengan pernikahan orang terdekat hidup kita akan selesai. Tidak seperti itu. Hidup tidak hanya memiliki satu garis. Itupun kalau kita jeli.

Bekasi, 25 Juni 2016.

Rabu, 01 Juni 2016

Semoga Ada Lelaki yang Perangainya Sebaik Dia

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Jika kamu berusaha meluruskannya, niscaya akan patah. Jika kamu terus membiarkannya, kamu dapat bersenang-senang, namun tetap bengkok. Maka berbuat baiklah kamu kepadanya.”

Kalimat di atas adalah salah satu ucapan yang saya kutip dari Hadis Rasulullah. Ketika selesai membacanya, saya membayangkan sebuah fenomena yang sering terjadi belakangan. Tentang kekerasan dalam berumahtangga.

Di masa ini, bukan lagi gelak tawa yang mewarnai ruang keluarga. Tapi jerit dan tangis. Seakan-akan memberi penekanan, bahwa berumahtangga adalah kegiatan rumit yang mengharuskan pelakunya menguras energi dan emosi.

Saya tinggal di lingkungan perkampungan yang tiap-tiap bangunannya saling berhimpitan. Antara satu rumah dan rumah lainnya hanya dibatasi oleh dinding. Singkatnya, satu dinding kita pakai bersama, sebagai penyekat. Di lingkungan seperti ini, suara sekecil apa pun akan terdengar oleh tetangga. Hal ini yang agak membebani penduduknya. Karena mau tidak mau, mereka dituntut untuk tetap tenang.

Salah satu tetangga saya adalah pasangan muda yang baru datang beberapa bulan lalu. Dia membeli rumah yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah saya. Ketika melihat pertama kali, tampaknya mereka pasangan yang bahagia. Terlebih anak mereka, yang masih balita, terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Sempurna sekali, pikir saya dalam hati.

Sampai kemudian, di hari kedua mereka tinggal, sebuah cekcok membenturkan kata demi kata. Tidak henti-hentinya mereka mengeluarkan kata kasar dan tidak pantas. Terlebih suaminya yang, agaknya, sudah terbiasa mengatakan kata seperti itu.

Jika terus-terusan seperti ini, tidak tega juga. Bisa mati dia tertusuk kata-kata tajam!

Pernah suatu waktu istrinya menangis, dia berjalan pelan-pelan keluar pintu, seperti sedang mencari sandaran atau wadah penampung cerita. Sungguh, kasihan sekali dia. Tubuhnya tampak lemah, seperti wanita yang baru ditinggal mati suaminya. Padahal kenyataannya tidak! Justru dia seperti itu karena suaminya belum juga mati!

Kemudian sesaat teringat ucapan Rasulullah tentang tulang rusuk tadi.

Seorang suami, jika berusaha meluruskan istrinya dengan kehendak pribadinya, maka hasilnya akan patah. Namun sebaliknya, jika dia cuek dan tidak berusaha meluruskannya, maka tidak akan terjadi apa-apa. Tetap bengkok.

Rasulullah adalah figur suami yang mendekati kata sempurna. Dalam skala satu sampai sepuluh, kehebatannya sebagai suami berada di angka sembilan koma sembilan. Tidak ada bentakan dalam rumah sederhananya. Tidak ada keluhan dalam hidup serba kurangnya. Dan yang paling penting, selama bertahun-tahun berumahtangga, tak satupun dari istrinya pernah bercerita tentang keburukan Rasul. Masih adakah lelaki sepertinya yang hidup di era modernitas seperti sekarang?

Ada satu riwayat asmara tentang Rasulullah yang diceritakan oleh Aisyah, istri tercintanya. (Saya senang sekali dengan riwayat ini).

Kala itu, Rasulullah sedang marah kepada Aisyah. Kemudian, di tengah marahnya, Rasul mengatakan: “Akfiini ‘ainak!” yang berarti: tutuplah matamu. Kemudian Aisyah cemas karena dimarahi Rasulullah, tubuhnya gemetar. Setelah Aisyah memejamkan kedua matanya, Rasulullah berkata: “Taqarrabii!” (mendekatlah!), lalu Aisyah mendekat dan Rasulullah memeluk tubuh Aisyah erat-erat. “Khumairahku,” kata Rasulullah. “Telah pergi seluruh amarahku setelah memelukmu.”

How sweet!

Saya berani bertaruh, berapa dollar-pun, bahwa di zaman sekarang sulit sekali menjumpai lelaki yang perangainya sebaik Rasulullah. Ada, tapi hanya sedikit. Mungkin tidak lebih dari sepuluh di dunia.

Kenyataan tersebut tergambar dari pasangan muda yang tinggal tak jauh dari rumah saya tadi. Usia awal pernikahan saja sudah seperti itu, bagaimana ketika sudah tua nanti? Kebosanan dan kejenuhan secara perlahan membelit hari-hari mereka.

Melalui tulisan ini, saya mendo’akan seluruh wanita di jagad raya, agar kelak ketika menikah, kamu dipersatukan oleh lelaki yang (paling tidak) mampu meredam emosinya ketika sedang bersama.

Sebab perangai seorang lelaki dapat diukur dari sikap dan caranya bertutur.
Sungguh, percayalah dengan itu.

Bekasi, 1 Juni 2016.

Kamis, 19 Mei 2016

Kamu Mendamaikanku Dengan Bumi

Manusia adalah pelayan bumi yang
Memikul beban-beban alam.
Tanpa berdarah-darah, kita
Tidak akan menghasilkan apa-apa.

Pejuang kemerdekaan tertembak
Satu persatu di hadapan kerabat.
Untuk merdeka, mereka terpaksa
Menyumbangkan kesempatan hidupnya.

Tangisan sendu menyanyikan jerit-jerit
Kehancuran para kekasih yang tertinggal.
Untuk menghapus luka di dadanya, air
Mata dialirkan ke sekujur tubuh.

Bukan lekas sembuh,
Malah terbunuh.

Manisku, lihatlah bagaimana bumi
memperlakukan manusia-manusianya.
Seakan-akan semua kebaikan harus disebrangi
Dengan perahu yang terbuat dari
Kesedihan.

Tapi pertentangan justru hadir ketika
Mataku terpaku pada gerak-gerik tubuhmu.

Kamu mendamaikan kebencianku
Kepada bumi.
Tanpa memberi syarat pada rasaku
Yang perlahan jatuh menumpahi namamu.
Aku cinta kamu, pada setiap pandang yang
Luput dari pandangmu.

Tidak perlu memikul beban apa-apa.
Tidak perlu menyebrangi apa-apa.
Hanya diam saja,
Aku sudah cinta.

Bekasi, 19 Mei 2016.

Sabtu, 14 Mei 2016

Hidup Bukan Nikmat

Bagaimana mungkin manusia percaya
Bahwa hidup adalah nikmat?
Sementara kematian bergerak
Mengintai waktu.
Bagaimana mungkin manusia percaya
Bahwa hidup adalah nikmat?
Sementara celaka bisa
Mengetuk raga
Siapa saja. Di mana saja.
Hidup bukan nikmat, jika takdir
Masih mengikat-ikat.
Hidup bukan nikmat, jika selanjutnya
Manusia bertemu akherat.

RSUD Kota Bekasi, 14 Mei 2016.